Ritual dan Perubahan Sehari-hari


Novel Upacara karya Korrie Layun Rampan merupakan telaah kehidupan masyarakat Dayak di era 60-an dari sudut pandang si “Aku”. Merekam kondisi pasca-kemerdekaan, saat masyarakatnya berada di persimpangan antara adat leluhur dan kebaruan yang perlahan menerobos kehidupan sehari-hari. Gagasan tentang keilmuan Barat, agama Kristen, hingga negara-bangsa, masuk ke dalam percakapan dan bergesekan dengan kepercayaan yang sudah lama mengakar. 

Mungkin demikian lah modernisme: bermunculan pasak-pasak penanda baru yang di tanah yang tak perlu ditandai karena tubuh-tubuh para penduduk sudah mengenalnya sehari-hari. Aliran sungai yang purba dan tak henti mengalir dicoba untuk dibendung dan dibentuk oleh tangan-tangan manusia baru. Dunia yang mulai berubah, rumah yang mulai diubah oleh para pendatang tanpa dihiraukan oleh penghuninya, seperti kekhawatiran si “Aku” tentang hutan yang mulai dieksploitasi oleh para pendatang. Keputusan penulis untuk mengakhiri novel ini dengan siaran radio kutipan pidato Presiden Soekarno di HUT RI tahun 1964: “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu mengubah nasibnya sendiri!” seakan membukakan gerbang baru bagi horizon si tokoh utama. Selain dirinya masuk ke tahap baru dalam hidupnya yakni pernikahan, ada perubahan yang harus dihadapi juga dengan cara-cara baru. 

Adaptasi novel tersebut menjadi film yang berjudul Ritual sudah menjadi testimoni bahwa film ini mengilhami semangat tokoh “Aku” dalam novel untuk terus menjadi kontekstual dan kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Alih-alih berfokus pada siklus upacara adat Dayak, film Ritual mentransfer keresahan atas perubahan ke dalam konteks kehidupan sehari-hari para pembuat film di latar urban Samarinda: mulai dari pembangunan berlebihan, deforestasi, kebingungan identitas kultural, hingga proyek perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang akan berimbas kepada Samarinda sebagai kota penyangga. 

Sesuai dengan struktur buku yang memiliki lima belahan, Ritual terbagi ke dalam lima video terpisah. Hampir semua video berorientasi vertikal, kecuali Belahan IV yang berorientasi horizontal dan khusus disusun untuk tujuan penayangan layar lebar. Dalam Belahan I: Perjalanan ke Mana, penonton disajikan gambar-gambar yang bergerak dari sudut pandang orang pertama yang menjelajahi hutan. Lambat laun, hutan tersebut bertransformasi. Shutter speed yang melambat membuat pergerakan kamera ikut jadi lambat, namun cepat pada saat yang bersamaan. Citra yang satu berlari tertatih-tatih mengejar citra yang selanjutnya. Kilasan cahaya, garis-garis melambai dan saling menimpa, bentuk-bentuk buram, dan warna yang semakin banyak menyerbu bingkai. Dalam kondisi disorientasi, kita mengenali bahwa lanskap yang dibawakan oleh kamera sudah berubah: ada motor, rumah-rumah, warung, pasar, jalan raya. Lanskap-lanskap ini kemudian dipermainkan di hadapan satu sama lain. Dalam kegelapan, gerak cahaya tidak lagi melambangkan objek yang memancarkan cahaya tersebut; ia menjadi ritme semata. Belahan I bisa dikatakan sebagai adaptasi yang paling setia dengan sumbernya. Novel Upacara diawali dengan prosesi adat Balian yang dilakukan untuk mengobati penyakit si tokoh utama, dan Belahan I menggambarkan perjalanannya menghadapi tantangan-tantangan di alam gaib. Distorsi menjadi kata kunci dari bahasa visual yang digunakan untuk menerjemahkan perjalanan sureal tersebut. 

Jika distorsi di Belahan I bersifat visual, di Belahan II: Berita Dunia Dalam, distorsi dimaknai secara auditif. Bagian ini dipenuhi oleh rekaman wawancara seputar Kota Samarinda: dari Samarinda sebagai lanskap fisik yang dibelah oleh sungai, sejarah, pola perkampungan, ekonomi, infrastruktur, politik, pariwisata, lingkungan, hingga skena kebudayaan independen. Kamera menjelajah sudut-sudut kota di lini-lini tersebut, sering kali bergerak dari perspektif orang pertama. Terkadang kamera diam membiarkan objek-objek di sekitarnya bergerak, seperti bidikan-bidikan kendaraan di jalan raya. Namun aspek suara tetap lebih mendominasi karena ritmenya dimainkan secara gradual—dari satu pembicara yang pindah ke pembicara yang lain, saling memotong, saling menindih, hingga suara mereka tenggelam oleh satu sama lain, tertimpa oleh ambience pasar dan jalan raya. Kencangnya arus informasi, ide yang berbeda-beda untuk mendefinisikan identitas Kota Samarinda, usaha-usaha untuk mengejar “ketertinggalan”, semua itu membuat suara yang tadinya bisa diproses secara kognitif kata per kata menjadi noise belaka yang bisa dinikmati oleh pendengar apa adanya. Sunyi hanya bergaung di gedung yang terbengkalai dan pemakaman umum. 

Belahan III: Ode Kepulangan menghadirkan perjalanan melalui Sungai Mahakam, dan juga perjalanan si sungai itu melalui pengubahan-pengubahan yang diukir oleh alam maupun manusia. Tekstur air kecokelatan yang terus bergerak dalam gelombang, memantulkan cahaya dan menimbulkan bunyi gemericik sehingga menjadi visual dan suara kunci dari belahan ini. Kemudian, alam berpadu dengan mesin: bunyi khas mesin kapal, gerakan kamera yang lurus dan cepat dalam perjalanan di atas kapal, hingga gerakan kamera yang bergetar saat kapal tidak stabil. Dari hutan, kita berkelana menuju dermaga, pemukiman di tepi sungai, dan sampah-sampah yang tertambat. Dalam satu bidikan, kamera dikelilingi kapal pembawa batubara dan asap yang menguar dari cerobong di kejauhan. Seiring dengan jalannya film, air yang tadinya mengelilingi horizon pandang kamera semakin terkikis oleh taburan sampah, beton, jembatan, dan pemukiman, hingga berakhir hilang sama sekali, tergantikan oleh aspal. Ketika penggunaan mobil, motor, dan infrastruktur darat lebih diakomodir dibandingkan jalur air, lambat laun budaya sungai di Samarinda dan sekitarnya mulai ditinggalkan. Anak-anak sungai dikubur menjadi aspal, seakan dimakamkan dan dilupakan oleh dunia yang terus berjalan.

Jika buku Upacara berakhir cukup optimis untuk beradaptasi demi mempertahankan penghidupan, Belahan V: Babak Baru dalam Ritual justru menyorot keterbengkalaian bangunan-bangunan di Kalimantan Timur yang pernah menjadi tonggak sejarah, antara lain Gedung Nasional dan Stadion Palaran. Citra-citra tersebut sama sekali tidak menunjukkan masa kejayaan: kursi yang terlantar di tengah aula, sarang laba-laba, debu yang sudah mengerak di sudut-sudut, tanaman rambat yang menjalar di gedung, sepatu tak berpemilik, semua bergema penuh kekosongan diiringi musik latar yang menimbulkan rasa was-was. Jika sebelumnya kamera banyak bergerak melalui sudut pandang orang pertama, kali ini kamera dan objek sekelilingnya lebih banyak diam, menciptakan jarak dan mengamplifikasi kesunyian di dalam bingkai. Satu-satunya objek yang bergerak di dalam bingkai adalah gambar Titik Nol IKN di Kabupaten Panajam Panser, sebuah monumen di tengah pepohonan yang ramai oleh pengunjung.  

Tanpa dialog atau dorongan “bercerita” yang didaktif, penonton harus mengalami susunan ritmis gambar dan suara yang disajikan oleh Ritual. Ini adalah strategi yang tepat untuk mengadaptasi gagasan perubahan zaman yang menjadi benang merah novel Upacara. Perubahan menandakan adanya gerak dari satu titik ke titik lain, dari satu bentuk ke bentuk lain. Dalam film ini, kita mengalami berbagai bentuk perjalanan audiovisual: dari lanskap alam ke lanskap buatan; dari yang familiar menuju yang terdistorsi; dari bising ke sunyi; dari usang menuju baru. 

Pusat dari Upacara yakni upacara-upacara adat suku Dayak memang hilang dari Ritual. Film ini dipenuhi tangkapan-tangkapan sederhana lingkungan alam dan manusia kota Samarinda sehari-hari. Namun, bukankah keseharian masyarakat urban yang memiliki pola aktivitas berulang bisa juga dibaca sebagai ritual dalam skala yang lebih kecil? Secara prinsip, sistem ekonomi, politik, agama, hingga subkultur-subkulturnya sama-sama merupakan kesepakatan kolektif yang dilakukan untuk menjalankan dan mencapai tujuan-tujuan tertentu. Ada aturan permainan bersama dengan bahasa-bahasa yang bisa dimengerti—batasan-batasan yang bersifat spiritual dan gaib kini tergantikan oleh norma sosial dan logika dalam tata cara yang dibuat oleh sesama manusia.  

Lebih jauh lagi, gambar sehari-hari ini dibingkai dengan orientasi vertikal. Menyesuaikan dengan cara penyajian gambar, saya pun menontonnya di smartphone melalui aplikasi YouTube. Ada yang menarik ketika kamera bergerak dari perspektif orang pertama—entah ketika si pemegang kamera berjalan kaki menyusuri lorong pasar, atau ketika si pemegang kamera merekam lanskap sekelilingnya dari atas perahu mesin yang menyusuri sungai. Ini mengingatkan saya dengan rekaman-rekaman video di Instagram Story atau TikTok yang bergerak dengan cara serupa: umumnya, si pemegang smartphone tidak menggunakan peralatan profesional namun bergerak ke sekelilingnya dengan tujuan membagikan yang ia lihat, sehingga citra yang dihasilkan agak berguncang dan tidak sempurna. 

Perekaman keseharian secara handheld dan vertikal sudah menjadi suatu bahasa yang lazim kita lihat karena terjadi secara berulang-ulang dalam siklus media sosial. Maka, bisakah tindakan ini disebut sebagai ritual di hari ini? Ritual yang bisa dilakukan oleh siapa saja dengan perangkat mereka masing-masing, tidak lagi didorong oleh capaian yang bersifat spiritual namun afektif dan sosial: keinginan untuk menjangkau manusia-manusia di sekitar kita. 

Jika kita kembali pada inti semangat novel Upacara yakni refleksi tentang cara hidup lama dan perubahan-perubahan yang harus dihadapi, pendekatan visual yang dilakukan Ritual cukup relevan. Selain menggambarkan perubahan-perubahan Kota Samarinda melalui montase audio dan visual, film ini mempertimbangkan perubahan perilaku yang terjadi dalam sirkulasi merekam dan menonton yang terjadi selama beberapa tahun belakangan. Jika Upacara menunjukkan gejala-gejala perubahan di sekitar lingkungan adat dan diakhiri dengan dorongan untuk sadar dan menghadapinya, dalam Ritual perubahan-perubahan itu telah lama terjadi dan menyebabkan disorientasi di segala lini masyarakat dan pemerintahan. Film ini hanyalah salah satu contoh kecil di mana tindakan merekam dan berbagi bisa menjadi sesuatu yang politis. 


Dini Adanurani adalah seorang peneliti seni dan film yang tinggal di Jakarta. Selain menulis, praktiknya meluas ke instalasi, pembuatan video, dan seni pertunjukan. Lulus dari Universitas Indonesia dengan gelar sarjana di bidang Filsafat, ia terlibat dalam penyelenggaraan festival film seperti Festival Film UI dan ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Dalam karyanya bersama Forum Lenteng, ia mendalami berbagai topik termasuk arsip film Indonesia, candi-candi Jawa, dan narasi sehari-hari. Saat ini ia bekerja sebagai Associate Editor di Manual Jakarta, serta membangun platform kritik budaya layar bernama Aspek Rasio. Ia adalah alumni Akademi Kritikus Locarno 2022. Tulisannya “Kasih yang Politis dalam Kau dan Aku” merupakan salah satu dari lima belas karya kritik film yang masuk sebagai nominasi kategori Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2021. Tulisan-tulisannya berusaha membedah dan merefleksikan film, seni visual secara umum, atau pengalaman sehari-hari ke dalam konteks sosial yang lebih besar. Tema yang sering muncul dalam karya-karyanya adalah subjektivitas, pembentukan makna, dan sejarah-sejarah kecil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *